Categories: Gaya Hidup

Manusia: Antara Malaikat dan Binatang. Part 1

Fihi Maa Fihi by Jalaludin Rumi

Sang Penguasa Kota Rum berkata: “Orang-orang kafir menyembah berhala dan bersujud di hadapannya. Sekarang kita juga melakukan hal yang sama. Kita pergi dan bersujud kepada bangsa Mongol serta melayani mereka. Kita juga menganggap mereka sebagai Muslim. Jauh di dalam hati kita, juga terdapat banyak sekali berhala seperti sifat tamak, nafsu, dendam, dengki, yang semuanya kita patuhi. 

Demikianlah kita berperilaku, secara lahir maupun batin. Lantas kita menganggap diri kita sebagai seorang Muslim?!”

Maulana Rumi berkata: “Tetapi di sini ada sesuatu yang berbeda. Dalam pikiranmu terlintas satu pandangan bahwa perilaku semacam itu (tamak, nafsu, dendam, dengki, dan lain-lain) sungguh jahat dan benar-benar menjijikkan. Mata hatimu telah melihat sesuatu yang agung yang menunjukkan bahwa perilaku-perilaku itu adalah buruk dan keji. Air asin menunjukkan keasinannya kepada orang yang sudah meneguk air manis, dan “segala sesuatu akan menjadi lebih jelas lewat kebalikan-kebalikannya.” 

Oleh karena itu, Allah SWT menanamkan cahaya keimanan dalam jiwa-jiwa kalian sehingga kalian bisa melihat perbuatan-perbuatan tersebut sebagai sesuatu yang tercela.

Ringkasnya, sebagai oposisi dari keindahan, keburukan menjadi tampak. Namun karena orang lain tidak bisa merasakan rasa sakit ini, maka mereka sangat berbahagia dengan kondisi mereka sekarang, seraya berkata: “Ini sungguh indah.”

Allah akan menganugerahkan apa yang kamu minta. Sejauhmana semangatmu, sejauh itulah kamu akan mendapatkan apa yang kamu minta. “Burung terbang dengan kedua sayapnya, dan orang Mukmin terbang dengan semangat yang dimilikinya.”

Makhluk Allah terbagi ke dalam tiga jenis: Pertama, adalah malaikat. Mereka hanya memfokuskan diri secara murni pada ibadah. Ketaatan, ibadah, dan zikir adalah sifat dan makanan mereka. Mereka makan dan hidup dengan semua esensi itu. Seperti ikan yang hidup di dalam air, alas dan bantal mereka adalah air. Malaikat tidak memiliki nafsu karena mereka tidak dikaruniai syahwat sehingga mereka suci darinya. Lantas apa yang mereka peroleh dari tidak memiliki nafsu di dalam jiwa? Karena mereka suci dari nafsu, maka tentu saja tidak ada usaha bagi mereka untuk melepaskan diri dari hawa nafsu.

Ketika mereka menaati apa yang Allah perintahkan, maka hal itu tidak lagi disebut sebagai sebuah ketaatan, sebab ketaatan adalah sifat mereka, mereka juga tidak memiliki kuasa sedikit pun untuk tidak taat. 

Jenis yang kedua adalah binatang, yang mana di dalam dirinya hanya ada nafsu belaka. Mereka tidak memiliki akal yang dapat mencegah mereka dari hawa nafsunya. Mereka juga tidak dibebani tanggungjawab apapun.

Adapun jenis yang ketiga adalah manusia yang lemah. Mereka memiliki akal dan juga hawa nafsu. Setengah dari dirinya adalah malaikat, dan setengahnya yang lain adalah binatang. Setengah ular, setengah ikan. (Dalam Bahasa Persia). Ikan menarik dirinya ke lautan, sementara ular menarik dirinya ke daratan. Mereka selalu berada dalam pergulatan dan peperangan. “Barang siapa yang akalnya mengalahkan hawa nafsunya, maka ia lebih mulia dari malaikat, dan siapa yang hawa nafsunya mengalahkan akalnya, maka ia lebih rendah daripada binatang.”

Malaikat selamat karena pengetahuannya, binatang selamat karena ketidakpeduliannya Dan anak cucu Adam akan selalu bersengketa tentang dua hal itu.

Sebagian anak Adam lebih memilih untuk mengikuti akalnya ketimbang hawa nafsunya sehingga mereka sampai pada tingkat malaikat dan Cahaya murni. Mereka ini adalah para Nabi dan wali.

Mereka telah terbebas dari kungkungan rasa takut dan harapan. Karena itulah, “Maka tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. [QS. al-Baqarah: 38]”

Adapun sebagian yang lain lebih memilih untuk memenangkan hawa nafsunya ketimbang akal, sehingga mereka benar-benar menjadi seperti binatang. Sedangkan sisanya masih terus dalam pergulatan antara hawa nafsu dan akal. Mereka adalah sekelompok orang yang dalam diri mereka berbaur perasaan gelisah, sakit, sedih, menderita, dan tidak puas dengan hidup yang mereka jalani. Mereka adalah orang-orang Mukmin yang ditunggu oleh para wali untuk membawa mereka kembali ke tempat asal mereka, untuk membuat mereka seperti para wali itu. Di tempat lain, mereka juga ditunggu oleh para setan yang akan menyeret mereka ke tempat yang paling rendah, dan dijadikan sebagai kolega mereka. Kita menginginkannya, yang lainnya juga menginginkannya. Lantas siapakah yang akan beruntung?

Bersambung…

Baca Juga

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mungkin Menarik